Pernahkah Anda membayangkan film apa yang dapat menemani Anda di malam hari saat lampu neon di jalan padam dan dunia berubah menjadi gelap gulita? Mungkin itu adalah pesta yang nikmat bagi indra, atau mungkin itu adalah benturan jiwa yang mendalam. Dan ada beberapa film yang berkelap-kelip pelan dalam kegelapan ini. Film-film itu tidak menjadi berita utama di media arus utama, dan tidak selalu mendapat dukungan dari para selebritas, tetapi pesonanya cukup untuk membuat jantung Anda berdetak lebih cepat lagi dan lagi, meninggalkan Anda dengan rasa yang tak ada habisnya. Film-film ini, seperti permata yang tersembunyi di malam hari, menunggu untuk ditemukan oleh pemirsa yang berani menjelajah dalam kegelapan. Hari ini, mari kita lihat film-film Jepang yang kurang mendapat perhatian ini. Film-film ini mungkin tidak begitu memukau, tetapi pasti akan menyentuh bagian terlembut hati Anda.
Misalnya, “Bukan Manusia Lagi“. Bila mendengar namanya, mungkin Anda akan mengira bahwa buku ini adalah sebuah mahakarya filsafat yang padat, atau sebuah kisah pedih yang akan selalu membuat Anda terjerumus dalam introspeksi diri yang mendalam. Ya, benar, tetapi masalahnya jauh lebih dalam daripada yang dapat ditangani oleh orang pada umumnya. Dalam film tahun 1954 yang disutradarai Kei Araki ini, karya klasik Dazai Osamu diangkat ke layar, memberikan penonton sebuah “cermin” yang tak terhindarkan.
Karakter Yezo tampaknya merupakan gambaran kecil dari masyarakat – ia dingin, egois, dan terjebak dalam masalah, tetapi ia tidak pernah bisa melepaskan diri dari kurungan hatinya. Di tengah reruntuhan Jepang pascaperang, orang-orang tampaknya tidak lagi percaya pada cahaya hakikat manusia, tetapi tenggelam dalam penderitaan mereka sendiri. Dalam setiap adegan, sutradara Kei Araki membuat penonton merasakan semacam ketidakpedulian yang merasuk dari hati, seperti angin dingin di musim dingin, menggigit tetapi tidak bisa dihindari. Mungkin film ini bukan film yang enak ditonton, tetapi film ini mengingatkan kita bahwa ketidakpedulian masyarakat dan rapuhnya sifat manusia selalu layak untuk direnungkan secara mendalam.
Dari kegelapan ini, kami melompat ke film lain yang sama sekali berbeda – “Tokyo Tower: Letters from My Old Mother“. Ketika mendengar namanya, apakah Anda sudah bisa menebak kalau ini akan menjadi karya yang hangat? Benar, tapi ada kesedihan yang tak terlukiskan dalam kehangatannya. Diadaptasi dari novel autobiografi Lily Frank, film tahun 2007 ini menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menerima serangkaian surat dari ibunya setelah ibunya meninggal, yang menceritakan kesulitan yang dihadapi ibunya dalam membesarkannya sendirian.
Ini bukan sekadar film tentang cinta keibuan, tetapi lebih seperti metafora mendalam tentang hubungan keluarga kontemporer. Dalam masyarakat saat ini, kasih sayang keluarga tidak lagi dianggap remeh. Semakin banyak keluarga yang mengalami keretakan, dan hubungan antara anak dan orang tua menjadi jauh dan acuh tak acuh. Namun dalam film ini, pengabdian tanpa pamrih sang ibu kepada putranya dan kegigihannya dalam keluarga memperlihatkan kasih sayang keluarga paling tulus pada masa itu.
Setiap hurufnya merupakan perwujudan kerja keras seorang ibu, dan setiap kata serta kalimat merupakan bentuk kepeduliannya yang tak terucap kepada putranya. Emosi dalam film ini tidak mencolok, tetapi tanpa sengaja menyentuh bagian terlembut hati Anda. Setelah membaca ini, mungkin Anda akan merenungkan hubungan Anda dengan orang tua Anda dan apakah Anda benar-benar tahu cara menghargai mereka.
Kalau begitu, mari kita lihat “Yokomichi Senosuke”. Film ini dapat dianggap sebagai “atlas spiritual” bagi kaum muda di Jepang pada tahun 1980-an. Film ini disutradarai oleh Yoshitaka Mori. Yokomichi Senosuke, seorang “pemuda bingung” yang khas, penuh dengan keinginan untuk bebas, tetapi tidak dapat menemukan posisinya sendiri di dunia yang rumit ini. Apakah menurut Anda karakter ini terdengar familiar?
Ya, dia seperti mikrokosmos anak muda di segala era. Setiap generasi memiliki momen kebingungan tentang masa depan, dan jalan horizontal adalah juru bicara untuk generasi ini. Melalui interaksinya dengan berbagai orang di sekitarnya, film ini mengungkap perubahan-perubahan halus dalam sikap hidup dan nilai-nilai anak muda pada masa itu. Dalam setiap adegan film, perjuangan, kontradiksi, dan kebingungan Hengdao sangat berkesan bagi masyarakat. Faktanya, perasaan ini dialami oleh siapa pun yang pernah tersesat dalam proses tumbuh dewasa. Ini adalah film yang meninggalkan jejak zaman, dan juga merupakan film yang memungkinkan Anda memeriksa kembali diri sendiri.
Mari kita bicara tentang “Batubara Laut”. Film tahun 2010 ini tidak hanya menggambarkan kehidupan di kota tepi pantai secara realistis, tetapi juga merupakan dialog mendalam antara kehidupan dan alam. Sutradara Kazuyoshi Kumakiri menggunakan gaya bercerita yang tenang untuk membawa kita ke sebuah kota kecil yang kurang dikenal oleh dunia luar. Tokoh utamanya adalah seorang nelayan. Tema film ini dapat diringkas sebagai “hidup dan mati”, dan kepatuhannya terhadap cara hidup tradisional mencerminkan semacam kekaguman terhadap alam.
Emosi dalam film tidak mengalir deras, melainkan datang perlahan namun berkesinambungan bagaikan gelombang. Di kota kecil ini, waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan napas pun tercium seperti angin laut. Anda akan merasakan semacam kekuatan yang tenang di setiap adegan film, seperti tabrakan spiritual dengan alam. Emosi semacam ini khususnya berharga dalam masyarakat yang berkembang pesat saat ini.
Tentu saja, kita tidak boleh melupakan The Ring. Meskipun film ini telah lama menjadi film horor klasik di seluruh dunia, latar belakang budaya mendalam yang tersembunyi di baliknya masih layak untuk kita telusuri secara cermat. Alih-alih menjadi film horor, film ini lebih merupakan refleksi mendalam tentang hubungan antara teknologi dan moralitas, dan antara manusia dan alam.
Nada dering di saluran TV itu bukan sekadar simbol teror, melainkan lebih seperti peringatan terhadap perkembangan teknologi modern – ketika kita semakin jauh dari alam, ketika kita tersesat di dunia maya, bisakah kita tetap mempertahankan penilaian moral yang paling mendasar? Jawaban yang diberikan oleh “The Ring” mungkin tidak jelas, tetapi kengeriannya tidak datang dari adegan berdarah, tetapi dari analisis ketakutan terdalam di hati manusia.
Film-film ini mungkin tidak terlalu laku di box office, tetapi semuanya menyentuh bagian terdalam hati orang-orang. Melalui bahasa artistik yang unik, mereka menceritakan kisah-kisah yang belum diketahui dan memungkinkan kita menghargai berbagai aspek masyarakat Jepang dan sifat manusia
Leave a Reply